Bekasi — Aman Pangan, Tapi Kekurangan Gizi Diam-Diam Meningkat
Meski berada di pusat industri dan urbanisasi, Kabupaten Bekasi masih menghadapi persoalan pangan: menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kekurangan asupan energi atau Prevalence of Undernourishment (PoU) pada 2024 mencapai 4,6 persen.
Angka ini memang lebih baik dibanding rata-rata nasional (8,27 persen), tetapi menunjukkan peningkatan dari 4,36 persen pada 2023 — dan melonjak 2,56 persen dalam lima tahun terakhir.
Di tengah gemerlap industri dan pembangunan, fakta bahwa satu dari 22 warga Kabupaten Bekasi kekurangan energi dasar menunjukkan kesenjangan nyata.
Dalam konteks Jawa Barat, Kabupaten Bekasi berada di peringkat kedua termiskin secara angka PoU, hanya kalah dari Kota Depok (4,52%). Sementara Kota Bekasi mencatat angka 4,88 persen.
10 wilayah teratas dengan PoU terendah di 2024 antara lain Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, serta beberapa kabupaten seperti Garut dan Karawang.
Kenapa “aman pangan” belum menjamin gizi?
Definisi PoU menunjukkan orang mungkin mengonsumsi makanan — tetapi jumlah energi yang masuk tidak mencukupi untuk menjalani hidup aktif dan sehat.
Artinya, meskipun stok pangan tersedia, distribusi, daya beli, atau akses ke makanan bergizi tetap menjadi tantangan. Hal ini memantik pertanyaan: seberapa jauh pembangunan ekonomi di Bekasi berdampak meningkatkan kualitas gizi warga?
Peringatan bagi pemangku kebijakan
Tren meningkatnya PoU di wilayah dengan kontribusi ekonomi tinggi seperti Bekasi menegaskan bahwa persoalan gizi tidak hanya tugas sektor sosial — tetapi isu struktural: pengaruh harga pangan, ketidakpastian pendapatan rumah tangga, dan akses makanan bergizi yang timpang.
Jika dibiarkan, ketidakcukupan gizi bisa menjadi beban bagi kualitas sumber daya manusia jangka panjang — menghambat produktivitas dan menciptakan ketimpangan sosial dalam masyarakat yang dibayangi kemajuan industri.
