Kalimalang dan Rp30 Miliar: Ambisi yang Dipertaruhkan di Ujung Tahun
Kota Bekasi — Pemerintah Kota Bekasi kembali menempatkan perhatian publik pada proyek revitalisasi Kalimalang, setelah menyiapkan anggaran Rp30 miliar dari APBD 2026 untuk melanjutkan pembangunan kawasan pedestrian hingga ke wilayah Kota Bintang, Kecamatan Bekasi Barat.
Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, menyatakan langkah ini merupakan kelanjutan dari upaya menghadirkan kawasan wisata air dan ruang kuliner yang telah berjalan sebelumnya. Fokus utama tahun depan adalah menyempurnakan jalur pedestrian sebagai tulang punggung kawasan baru tersebut.
Namun, di balik optimisme pemerintah, proyek yang dijulang sebagai “ikon baru kota” ini justru menimbulkan keraguan di kalangan publik dan pengamat tata kota. Pertanyaan klasik kembali mencuat: apakah pembangunan Kalimalang benar-benar menjawab kebutuhan fundamental warga, atau sekadar menjadi etalase pembangunan dengan biaya tinggi?
Permasalahan Mendasar yang Belum Terjawab
Meski dipromosikan sebagai ruang publik yang atraktif, realita di lapangan menunjukkan sejumlah persoalan struktural tetap mengintai. Isu kualitas air, pengelolaan sampah, hingga masalah banjir dan sedimentasi masih kerap membayangi kawasan ini — persoalan yang menurut banyak warga belum mendapat penanganan tuntas.
Pembangunan kontainer kuliner dan jalur pedestrian di beberapa titik justru memberi kesan pekerjaan bersifat sporadis, belum menyentuh kebutuhan fundamental kawasan secara menyeluruh. Aktivitas ekonomi warga yang diharapkan tumbuh di kawasan itu juga belum terlihat signifikan.
Kolaborasi Lintas Level Pemerintahan dan Tantangan Koordinasi
Keterlibatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rencana pembongkaran dan pembangunan ulang sejumlah jembatan di sepanjang Kalimalang menjadi angin segar sekaligus tantangan baru. Dukungan lintas kewenangan ini membuka peluang percepatan, namun juga berpotensi memunculkan kendala koordinasi dan keterlambatan antarinstansi.
Tri Adhianto menegaskan bahwa jembatan-jembatan yang ada akan dibongkar dan dibangun secara bertahap untuk menunjang kelancaran kawasan. Namun pengalaman proyek berskala besar yang melibatkan banyak pihak sering kali menunjukkan bahwa keterlibatan lintas instansi kerap membuat progres proyek “selalu dalam status pembangunan” tanpa pernah tuntas.
Prioritas Kota di Persimpangan
Anggaran Rp30 miliar bukan sekadar angka; di tengah tekanan kebutuhan pokok masyarakat seperti banjir, infrastruktur jalan, layanan publik, hingga pengelolaan sampah, publik berhak mempertanyakan di mana posisi Kalimalang dalam skala prioritas kebutuhan kota yang lebih luas.
Pemerintah tentu berwenang membangun dan memperkaya ruang publik. Namun kerja jurnalistik mengingatkan, ikon kota yang gagal berfungsi dan berkelanjutan justru berpotensi menjadi beban anggaran di masa depan, bukan kontribusi nyata bagi keseharian warga. Keberhasilan Kalimalang bukan diukur dari besaran anggaran, tetapi dari keberlanjutan, transparansi, dan manfaat langsung bagi masyarakat yang sejati.